makna kematian pada wanita dewasa madya setelah mati ditinggal pasangan hidup
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masa madya merupakan periode yang panjang dalam
rentang kehidupan manusia. Gallagher, Lachman, Lewkowictz, & Peng (2001),
menyatakan bahwa dewasa madya ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan
beragam, menurut perannya yaitu tanggung jawab sebagai seorang yang menjalankan
rumah tangga, perusahaan, membesarkan anak, dan mungkin merawat orang tua
mereka, serta mulai menata karir yang baru. Selain itu juga harus menyesuaikan
diri dengan perubahan fisiologis yang terjadi seperti perubahan dalam
penampilan, perubahan dalam kesehatan, dan perubahan dalam seksual (Hurlock,
1999).
Masa madya atau usia setengah baya dialami oleh
individu yang berusia antara 40 sampai 60 tahun, masa ini terbagi kedalam dua
subbagian, yaitu : usia madya dini yang membentang antara usia 40 hingga 50
tahun dan usia madya lanjut yang terbentang antara usia 50 hingga 60 tahun.
Masa madya ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental. Pada
usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, sering pula diikuti
oleh penurunan daya ingat walaupun banyak yang mengalami perubahan-perubahan
tersebut lebih lambat sehingga terlihat lebih jelas daripada masa lalu
(Hurlock, 1999).
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) individu
dewasa madya memiliki sejumlah tugas perkembangan yang harus diselesaikannya,
seperti halnya rentang kehidupan lainnya. Salah satu tugas tersebut adalah
penyesuaian terhadap perubahan fisik. Pada masa ini terjadi perubahan fisik,
salah satu dari perubahan tersebut adalah menopause yang terjadi pada wanita. Menopause
merupakan momok yang harus dihadapi setiap wanita dewasa madya. Menopause
adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Men dan peuseis adalah
kata Yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan berhentinya haid.
Menurut kepustakaan abad 17 dan 18 menopause dianggap sebagai suatu bencana dan
malapetaka, sedangkan wanita setelah menopause dianggap tidak berguna dan tidak
menarik lagi (Kasdu, 2002).
Sebagai suatu ilmu pengetahuan yang empiris, psikologi
terikat pada pengalaman dunia. Psikologi tidak mlihat kehidupan setelah mati,
melainkan mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia terhadap terhadap
masalah kematian, bagaimana jiwa manusia di saat-saat menjelang kematian
(sakaratul maut).
Kepercayaan manusia terhadap kematian merupakan
salah satu penggerak manusia beragama. Bahkan Durant mengatakan bahwa kematian
adalah asal-usul semua agama. Boleh jadi kalau tak ada maut, Tuhan tak akan
terwujud dalam benak manusia. Dua tokoh Jung dan Freud menyatakan bahwa ada
hubungan erat antara kematian dan perilaku religius. Kematian tak terelakan itu
menginsafkan manusia dengan paling tajam akan ketidakberdayaan. Maut merupakan
luka paling parah untuk narsisisme insani. Untuk menghadapi frustasi terbesar
ini, manusia bertindak religius.
B. Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
makna kematian pada wanita dewasa madya setelah mati ditinggal pasangan hidup ?
b. Adakah
perbedaan makna kematian pada wanita dewasa madya setelah mati ditinggal
pasangan hidup ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
melihat secara empiris makna kematian pada wanita dewasa madya setelah mati
ditinggal pasangan hidup, serta mengetahui perbedaan makna kematian pada wanita
dewasa madya setelah mati ditinggal pasangan hidup.
D. Manfaat
Penelitian
a. Kegunaan
Teoritis
Penelitian ini dapat
menjadi sumber informasi dan referensi baru untuk dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai makna kematian pada wanita dewasa madya setelah mati ditinggal
pasangan hidup.
b. Kegunaan
Praktis
Mengetahui
informasi mengenai makna kematian pada wanita dewasa madya setelah mati
ditinggal pasangan hidup.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Masa
Dewasa Madya
Menurut Lanvinson, masa dewasa madya adalah masa
peralihan yang berawal dari masa dewasa muda yang berusia 40-60 tahun. Pada
usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa. Setelah itu mulailah peralihan ke
masa dewasa madya, dalam masa ini seseorang memilik tiga macam tugas, yaitu:
1) Penilaian
kembali pada masa lalu
2) Perubahan
struktur kehidupan
3) Proses
individuasi
Artinya seseorang menilai masa lalu
dengan kenyataan yang ada pada saat ini, dan dengan padangan ke depan seseorang
merubah struktur kehidupannya dengan penyesuaian pemikiran rasional pada zaman
ini pula. Proses individuasi akan membangun struktur kehidupan baru yang
langsung sampai fase penghidupan yang berikutnya.[1]
Pada masa dewasa madya, ada aspek-aspek
tertentu yang berkembang secara normal, aspek lainnya berjalan lambat atau
berhenti. Bahkan ada aspek-aspek yang mulai menunjukan terjadinya
kemunduran-kemunduran. Dinamika perkembangan dari periode dewasa madya adalah
:
1.
Menyesuaikan diri pada perubahan fisik
2.
Mulai ada penurunan kondisi fisik
3.
Menyesuaikan diri dalam perubahan minat
4.
Menyesuaikan diri kepada relasi keluarga dan pasangan
hidup
5.
Ditandai dengan kemajuan dalam pekerjaan, perkawinan,
dan keadaan sosial ekonomi
6.
Semakin aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sosial
7.
Dorongan seks semakin bertambah
8.
Disebut sebagai masa remaja kedua
9.
Mengurangi kegiatan yang bersifat gerakan fisik yang
banyak
Pada akhir masa dewasa madya, kekuatan
aspek-aspek psikis ini pun secara berangsur ada yang mulai menurun, dan
penurunannya cukup drastis. [2]
1)
Perubahan Fisik Pada Masa Dewasa Madya
Banyak dari
para dewasa madya mengalami kecemasan pada penampilan fisik yang pada akhirnya
akan mengganggu masa relasi dengan pasangannya. Mereka cemas mempertahankan
pasangannya. Ciri-ciri perunahan fisik masa dewasa madya yaitu berat badan
semakin bertambah, rontoknya rambut dan mulai beruban, kulit pada wajah, leher,
lengan dan tangan semakin keriput, tubuh menjadi gemuk, terutama pada perut,
mengendulnya otot sekitar dagu, lengan atas dan perut, gigi mulai ompong dan
berwarna kuning, mata kurang bersinar dan sering mengeluarkan kotoran mata,
awal memasuki masa menopause atau klimakteria.[3]
2)
Perubahan Psikologis Masa Dewasa Madya
1.
Kemampuan intelektual
Saat periode
dewasa madya terdapat kenaikan pada kemampuan intelektual, terutama pada
tingkat kecerdasan tinggi. Pria akan menunjukan perubahan intelektual lebih
tinggi di bandingkan wanita. Pria akan menunjukan peningkatan nilai inteligensi
ketika mereka tua.
2.
Motivasi
berprestasi
Erickson
mengatakan bahwa masa dewasa madya adalah masa krisis antara fase generasi
fitas dan stgnasi. Generatifitas berarti dewasa madya memiliki kemauan yang
besar untuk berhasil dan memungut kambali pekerjaan sebelumnya. Ukuran tingkat
kesuksesan dewasa madya adalah keberhasilan dalam keuangan, kekuasaan, dan
prestise. Adapun stagnasi, berarti orang dewasa madya tidak memiliki kemauan
meningkatkan keberhasilan dari sebelumnya karena dia ingin bebas dari rutintas
pekerjaan.
3.
Perubahan minat
Perubahan
minat pada masa dewasa madya adalah
akibat perubahan tugas, tanggung jawab, kesehatan dan partisipasi pada
kehidupan sehari-hari sehingga perubahan minatnya lebih tegas di bandingkan
pada masa sebelumnya. Faktor penyebab nya yaitu mengembangkan minat yang
ssebelumnya tertinggal, kontribusi yang lebih baik, mengarah pada kesendirian,
memperdalam agama dan kebudayaan, atau menambah wawasan pribadi.
Jenis-jenis
minat selama masa dewasa madya yaitu minat penampilan dan pakaian, uang, agama,
symbol status dengan cara mencari harta sebanyak mungkin dan sekolah kembali
atau menulis buku, kegiatan sosial dengan aktif dalam kegiatan organisasi,
partai politik atau kegiatan kemasyarakatan.
4.
Perubahan symbol status
Karena pada
dewasa madya slalu berfikir dan mawas diri sebagai generasi pemimpin
menyebabkan mereka berusaha untuk memiliki harta benda banyak dan membuktikan
memiliki symbol status yang lebih tinggi. Walaupun ssebagian besar dewasa madya
mengetahui bahwa periode ini merupakan periode status symbol diri, namun
kenyataan masih banyak belum mendapatkan status symbol. Penyebabnya yaitu
rendahnya pendapatan, biaya sekolah dan sebagainnya. Semakin tinggi kecemasan
meningkatkan status sosio - ekonomi,
maka semakin dirasakannya makna status symbol.
5.
Kegiatan sosial
Faktor-faktor
yang berhubungan dalam kegiatan sosial dewasa madya yaitu faktor kesehatan,
perbedaan jenis kelamin, ekonomi dan status pernikahan.
6.
Kondisi penyesuaian diri
Kondisi-kondisi
yang menghambat proses penyesuaiaan diri bagi dewasa madya yaitu penurunan
kesehatan dan penampilan diri yang tidak menarik, minimnya keterampilan dan
status sosial yang kurang berharga, kontak sosial sebatas anggota keluarga
saja, keuangan nya yang terbatas untuk kebutuhan hidup, tekanan masa lalu atau
keluarga, popularitas yang tidak tercapai, mobilitas sosial akibat pindah
pekerjaan atau bencana dan faktor kepribadian.[4]
3)
Bahaya Fisik Masa Dewasa Madya
a.
Menurunnya kesehatan
Usia madya
ditandai dengan menurunnya kesegaran fisik dan kesehatan. Pertengahan 40-an
tahun ada peningkatan ketidakmampuan yang berlangsung ccepat, seperti mudah
lelah, telinga mendengung, sakit otot, dan semakin meningkatnya kepekaan kulit,
mengalami pusing konstipasi, asam lambung, sendawa, selera makan turun,
insomnia. Penyebabnya yaitu menurunnya kesehatan ialah genetik, penyakit, emosi
atau maladaptive. [5]
b.
Menurunnya fungsi fisilogis
Terjadinya
perubahan organ tubuh bagian luar seiring dengan perubahan organ-organ dalam tubuh. Penurunan
fungsi fisiologis berhubungan dengan dinding saluran arteri yang menjadi rapuh,
menaiknya tekanan darah, komplikasi penyakit jantung, fungsi kelenjar tubuh
semakit lamban dan tubuh bertambah bau.
c.
Menurunnya daya seksual
Sejauh
ini penyesuaian fisik yang sangat sulit
dilakukan dewasa madya adalah perubahan kemampuan seks. Kemunduran daya seksual
akibat kesehatan yang buruk dan defisiensi gonad . pada usia 50-an tahun
aktvitas gonad mengalami kemunduran.
d.
Menurunnya
kemampuan indra
Menurunnya
fungsi kemampuan indra terutama pada penglihatan, fungsi pendengaran, dan daya
penciuman
4)
Bahaya Fisikologis Masa Dewasa Madya
1.
Idealism pada masa muda
Banyak orang
dewasa madya khususnya pada pria yang slalu konstan untuk menentang
pengelompokan usia dalam pola prilaku. Sikap memberontak dan menolak
adalah kelanjutan sikap pemberontakan
masa mudanya.
2.
Stress
Meskipun
usia madya secara emosi telah stabil, namun akibat penyesuaian diri yang
radikal dalam peran dan kehidupan yang berubah-ubah khususnya jika di sertai
perubahan fisik dapat mengganggu homeostasis pisik, tegangan emosional dan
setres. Pada usia 40-an wanita lebih sering stres daripada pria. Bentuk-bentuk stres dewasa
madya yaitu stress budaya, somatic, fsikologis, dan ekonomi.
3.
Kecanggungan
Biasanya faktor
penyebab kecanggungan ialah penilaian sebagai generasi pemberontakan senior
sehingga merasa menderita atas keberadaannya yang kurang menyenangkan dan
memalukan.
4.
Perasaan jenuh
Hampir
seluruh pria dan wanita mengalami kejenuhan antara usia 30-an dan 40-an. para pria akan jenuh pada
pekerjaaan rutin sehari-hari dan kehidupan bersama keluarga yang hanya sedikit
memberikan hiburan. Bagi wanita, menghabiskan waktu untuk mengurus rumah dan
membesarkan anak-anak.
5.
Rasa kesepian
Masa dewasa
madya selalu merasa kesepian (empty nest) akibat anak-anak yang tidak lagi
tinggal bersama. Kebanyakan orang merasa kesepian mulai terasa pada usia 40-an
hingga usia 50 tahun. Bagi wanita, perasaan kesepian di anggap pengalaman
traumatic di bandingkan dengan pria . rasa sedih banyak terjadi pada wanita
yang banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Bagi
pria pengalaman traumatik rasa kesepian berasal saat mengundurkan diri atau
pengsiun lebih awal yang menyebabkan retirementshock dan post power syndrome.
6.
Aspirasi yang tidak realistis
Dewasa madya
cenderung mempunyai aspirasi yang tak realistis
untuk di capainya sehingga dia mengalami masalah yang serius. Kondisi
ini terutama sekali dalam proses penyesuaiaan diri manakala menyadari bahwa
aspirasinya tak dapat dicapainya. [6]
B. Kematian
Kematian adalah
satu perkara yang lazim dan realiti kepada manusia. Setiap manusia pasti
menghadapinya. Namun corak kematian manusia adalah dalam kondisi atau situasi
yang berbeda-beda. Berlakunya kematian dengan berbagai sebab-musabab:
1. Kematian
penyakit adalah kematian yang disebabkan oleh sesuatu penyakit seperti kanker,
AIDS, sakit jantung, angina ahmar, dan lain-lain.
2. Kematian
tak diduga adalah kematian yang boleh terjadi akibat kemalangan, bencana, mati
ketika tidur, dan lain-lain.
3. Kematian
perkembangan umur atau usia adalah kematian yang berlaku perkembangan hidupnya.
Dengan lebih jelas adalah kematian yang bakal dihadapi oleh orang tua.[7]
Menurut
Speece dan Brant (1984) menyebut kematian berlaku kepada empat komponen:
1. Perhentian
dalam kehidupan adalah segala proses kehidupan manusia seperti pergerakan,
sensasi, dan pemikiran.
2. Inrrevesity
adalah muktamad dan tidak boleh diobati sesuatu keadaan yang mana
disebabkan proses dalam atau biologikal.
3. Kehilangan
status adalah dari suatu keadaan kehidupan yang biasa dilalui, lalu hilang
semua ciri-ciri mewakili kehidupan lalunya.
4. Kematian
somatik adalah kematian semua sel dalam badan.
Secara
umum dapat dikatakan sebagai lenyapnya proses biologikal, psikologikal, dan
pengalaman sosial dalam sebuah budaya kehidupan. Selain itu kematian juga boleh
dikatakan apabila roh terpisah dari jasad. Seseorang individu itu boleh
diisytiharkan mati apabila pernapasan dan degupan jantungnya terhenti untuk
satu jangka masa tertentu dan aktivitas otaknya tidak berfungsi lagi.
C. Makna
Kematian Pada Wanita Dewasa Madya Setelah Ditinggal Mati Pasangan Hidup
Ada
beberapa dimensi masalah yang dihadapi seorang wanita setelah pasangannya
meninggal dunia. Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan
kesulitan ekonomi walaupun dalam beberapa kasus istri merupakan ahli waris dari
suaminya, namun selalu ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk biaya
dokter dan pembuatan makam (Kephart & Jedlicka, 1991).[8] Dalam
hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan permasalahan utama
yang mereka hadapi (Glasser Navarne, 1999).[9]
Karena tidak hadirnya suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi
keluarga, seorang perempuan harus mampu mengambil keputusan dan
bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga
anak-anaknya (Suardiman, 2001).[10]
Dalam
permasalahan fisik, tidak mengejutkan jika kematian pasangan dihubungkan dengan
perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah
sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok dan
minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan
(Santrock, 1995).
Bagi
beberapa perempuan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami meliputi
perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting perempuan sebagai
seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya
meninggal dunia. Perempuan yang telah mendefinisikan dirinya sebagai seorang
istri, setelah kematian suaminya mengalami kesulitan untuk mendefinisikan
dirinya sebagai seorang janda. Oleh karena itu, bagi seorang perempuan,
meninggalnya suami berarti kehilangan orang yang mendukung sef-definition yang
dimilikinya (Nock, 1987).[11]
Kehidupan
sosial juga mengalami perubahan. Keluarga dan teman-teman biasanya selalu
berada di dekat wanita pada masa-masa awal setelah kematian, namun setelah itu
mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker dalam Papalia,
Old & Feldman, 2001). Masalah yang sering muncul adalah tentang hubungannya
dengan teman dan kenalannya. Seorang wanita yang sudah ditinggal pasangan hidup
sering merasa dilupakan dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain
karena dia dianggap sebagai ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Penolakan
dan penilaian negatif yang berasal dari lingkungan ini dapat menyebabkan wanita
merasakan kesepian (Freeman, 1984).
Secara
emosional, wanita yang telah kehilangan suaminya, juga kehilangan dukungan dan
pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996). Selain
itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan simptom-simptom terakhir
dari penyakit suaminya; ada yang mengenakan pakaian suaminya agar merasa
nyaman dan dekat dengan suaminya; dan beberapa lainnya tetap memasak dan
mengatur meja untuk suaminya walaupun suaminya itu telah meninggal (Heinemann
dalam Nock, 1987).[12]
Beberapa wanita mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya selama
setahun ataupun segera mengikuti kematian suaminya. Mereka merasa marah pada
suami karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau mengharapkan nasehat
dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock, 1987).[13]
Pada wanita, terdapat goncangan emosi yang mendalam serta perasaan
kehilangan, dan yang pasti, ada perasaan kesepian dan suatu keharusan untuk
mengatur kembali kehidupan, termasuk juga membangun suatu kehidupan sosial yang
baru (Kephart & Jedlicka, 1991).[14]
seorang wanita akan merasa lebih kesepian lagi ketika dia bereaksi seperti
merasa tidak berdaya tanpa suami, selalu larut dalam kesedihannya, merasa bahwa
setelah suaminya meninggal dia tidak akan dapat lagi menjalani hidupnya, selalu
membutuhkan suami untuk berbagi pekerjaan, merasa takut dan tidak mampu untuk
membangun hubungan pertemanan yang baru, serta menghindari interaksi sosial
setelah suaminya meninggal dunia.
Kematian
pasangan hidup biasanya tidak dapat dicegah, yang dampaknya melibatkan
kehancuran ikatan yang telah lama dijalin, munculnya peran dan status baru,
serta berbagai masalah lainnya. Tidak mengejutkan jika kematian pasangan
dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat
inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti
merokok dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang
ditinggalkan (Santrock, 1995). Dayakisni (2003), mengatakan bahwa diantara
orang-orang yang tidak menikah (yang belum menikah, ditinggal pasangan karena
bercerai dan juga karena kematian), yang paling kesepian adalah seseorang yang
menjadi sendiri karena kematian pasangannya.
Setelah
pasangannya meninggal, seorang wanita akan menghadapi beberapa dimensi
masalah, yaitu masalah konsep diri, fisik, finansial, sosial, dan emosional.
Ketika menghadapi masalah-masalah ini, seorang wanita membutuhkan dukungan
sosial yang berasal dari keluarga, teman, tetangga, maupun rekan kerja. Menurut
Sarafino (2002) dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan,
maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun
dari kelompok.
Ada
lima bentuk dukungan sosial yang dapat diterima oleh individu, yaitu
dukungan emosional, penghargaan, instrumental, informasi, dan dukungan kelompok
(Sarafino, 2002).
Hal
yang paling penting dari suatu dukungan sosial adalah individu memiliki teman
berbicara, memiliki seseorang untuk memberikan nasehat, memiliki seseorang
untuk menghibur dan membangkitkan semangat. Jika seorang perempuan merasa
terbebani dan memikirkan suatu permasalahan, dia sangat memerlukan orang
lain untuk diajak berbicara dan biasanya suamilah yang menjadi teman
berbagi dan bertukar-pikiran, namun suaminya sudah meninggal. Ketiadaan suami
akan menyebabkannya merasa tidak berdaya (An-Nuaimi, 2005). Karena suaminya
telah meninggal, seorang wanita membutuhkan seseorang untuk berbagi, namun wanita
juga menghadapi pemasalahan dalam kehidupan sosialnya. Wanita yang telah
ditinggal mati pasangannya akan mengahadapi masalah sosial. Keluarga dan
teman-teman biasanya selalu berada di dekat wanita pada masa-masa awal setelah
kematian, namun setelah itu mereka akan menjauh darinya dan kembali ke
kehidupan mereka masing-masing. Mereka tidak akan selalu ada ketika dibutuhkan
(Brubaker dalam Papalia, Old & Feldman, 2001). Dalam hubungannya dengan
teman dan kenalannya, seorang wanita sering tidak diikutsertakan dalam suatu
kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai ancaman
oleh para istri (Freeman, 1984). Hubungan dengan teman mungkin akan rusak,
terutama jika hubungan itu ada karena ada kaitannya dengan pasangan yang
telah meninggal (Belsky, 1990)[15],
misalnya seorang wanita mungkin tidak akan mengikuti lagi perkumpulan
istri-istri di tempat suaminya bekerja dahulu. Perempuan yang menjanda juga
mengatakan bahwa mereka sering merasa aneh dan kurang nyaman ketika berada
dalam situasi dimana dia harus bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang
menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004).[16]
Orang-orang
dengan dukungan sosial yang baik berkemungkinan kecil untuk bereaksi secara
negatif terhadap masalah-masalah hidup dibandingkan dengan orang-orang yang
mendapat dukungan sosial sangat sedikit (Lahey, 2007). Dalgard (dalam
Plotnik, 2005) mengatakan bahwa sistem dukungan sosial yang baik, misalnya
memiliki satu atau lebih teman dekat akan mengurangi efek dari kejadian yang
menyebabkan seseorang stres dan meningkatkan kesehatan mental individu.
Jennison (dalam Plotnik, 2005) mengatakan bahwa kehadiran keluarga dan teman
dapat meningkatkan kepercayaan diri individu ketika menghadapi stres sehingga
dia merasa mampu untuk mengatasi masalahnya. Orang-orang yang kehilangan
pasangannya berkemungkinan besar untuk melakukan perilaku tidak sehat
jika dia mendapatkan sedikit dukungan. Menurut DiMatteo (1991), wanita
yang mendapatkan banyak dukungan akan merasa bahwa dia memiliki banyak orang
yang dapat dijadikannya teman untuk berbagi sedangkan wanita yang mendapatkan
sedikit dukungan sosial akan merasa tidak berdaya dalam mengatasi masalahnya
dan merasa tidak ada orang yang memperhatikannya sehingga dia akan merasa
tidak puas atas hubungan yang dimilikinya. Baron & Byrne (2000) mengatakan
ketika seseorang merasa kekurangan dan tidak puas atas hubungan yang
dimilikinya, dia akan kesepian.[17]
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dykstra (1995) dapat dilihat bahwa
dukungan sosial merupakan faktor penting yang menentukan kesepian yang dialami
oleh seseorang yang hidup tanpa pasangan.[18]
E. Hipotesis
Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa makna
kematian pada wanita dewasa madya setelah mati ditinggal pasangan hidup.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang
bersifat eksperimental sungguhan. Menurut Suryabrata (1995)[19],
tujuan dari penelitian eksperimental sungguhan adalah untuk menyelidiki
kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara mengenakan satu atau lebih
perlakuan kepada satu atau lebih kelompok eksperimental dan memperbandingkan
hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi
perlakuan. Bentuk eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
eksperimen sederhana yang meliputi dua kelompok eksperimen, yaitu kelompok
control dan eksperimen.
A. Identifikasi
Variabel Penelitian
Variabel-variabel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel
tergantung
Variabel tergantung adalah suatu
variabel yang variasi nilainya dipengaruhi oleh variasi variabel lain (Mustafa
2009)[20].
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kesiapan wanita dewasa madya.
2. Variabel
Bebas
Variabel bebas adalah sesuatu yang
divariasi nilainya dan mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya nilai
variabel lain (Mustafa 2009)[21].
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kematian.
B. Definisi
operasional
a. Kematian
Kematian adalah satu perkara yang lazim
dan realiti kepada manusia dan setiap manusia pasti menghadapinya.
b. Masa
Dewasa Madya
Masa dewasa madya adalah masa peralihan
yang berawal dari masa dewasa muda yang berusia 40-60 tahun.
C. Populasai
dan Sampel
Populasi ialah semua yang membentuk
suatu kelompok ( Bordens & Abbott, 2005)[22].
Populasi dalam penelitian ini adalah wanita dewasa madya usia 40-60 tahun yang
berada di lingkungan rumah Ds. Umbuldamar, Binangun.
Sampel ialah sejumlah kecil yang diambil
dari populasi ( Bordens & Abbott, 2005). Pengambilan sampel dalam penelitian
ini dilakukan dengan teknik pengambilan sampel secara purposive (purposive
sampling).
Subjek penelitian akan dibagi ke dalam
dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok
eksperimen merupakan kelompok yang dipilih secara randomisasi dan mendapatkan,
sedangkan kelompok control merupakan kelompok yang dipilih secara randomisasi
dan tidak mendapatkan perlakuan (Mitchell & Jolley 2004)[23].
Subjek penelitian untuk kelompok kontrol dan kelompok eksperimen masing-masing
terdiri dari empat orang.
Pembagian subjek penelitian kedalam dua
kelompok dilakukan dengan menggunakan randomisasi, yaitu setiap subjek
penelitian memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh dan tidak memperoleh
perlakuan. Randomosasi dilakukan agar pada suatu kelompok tidak terdiri dari
subjek-subjek yang memiliki variable pengganggu yang sama. Dengan dilakukannya
randomisasi diharapkan variable pengganggu yang tidak terkontrol tidak
mempengaruhi atau hanya sedikit pengaruhnya pada variable tergantung (Myers
& Hansen, 2006)[24].
D. Teknik
Kontrol
Peneliti harus menciptakan kondisi yang
sesuai sehingga efek dari variable bebas dapat terlihat dengan jelas.
Variabel-variabel pengganggu dapat mengacaukan validitas internal maka harus
dilakukan teknik kontrol. Variabel pengganggu ialah variable-variabel lain
selain variabel bebas yang dapat mempengaruhi variabel tergantung dan variabel
tersebut bukan merupakan fokus dari penelitian (Myers & Hansen, 2006:Solso
& MacLin, 2002)[25].
Peneliti juga mempunyai kuasa untuk
memanipulasi kondisi fisik, misalnya mengontrol kebisingan, penerangan dan lain
sebagainya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kondisi ruangan yang eksperimen
yang kondusif sehingga pengaruh variabel tergantung tidak dipengaruhi variabel
pengganggu yang berupa kebisingan dan sebagainya (Seniati, Yulianto &
Setiadi, 2005)[26].
Peneliti akan melakukan control terhadap
beberapa variabel, yaitu:
a. Informasi
yang tidak penting dan tidak relevan
Informasi yang
tidak penting dan tidak relevan berhubungan dengan perhatian yang diberikan oleh
subjek penelitian. Peneliti akan menciptakan kondisi yang kondusif agar subjek
penelitian dapat memberikan perhatian sepenuhnya pada saat pelaksanaan
penelitian.
b. Interfensi
atau gangguan dan tidak fokus
Peneliti
melakukan kontrol terhadap keadaan lingkungan untuk menghindari adanya
interfensi atau gangguan dan menjaga agar subjek penelitian tetap fokus
sehingga dapat memberikan perhatian yang optimal.
c. Kondisi
fisik yang lelah
Kondisi fisik
para subjek penelitian yang berada pada kelompok control dan kelompok
eksperimen adalah sama. Dengan ini maka diharapkan pengaruh dari fisik yang
lelah hanya memberikan efek yang sedikit.
E. Alat
Ukur
1.
Alat tulis
2.
Alat ukur, yaitu
skala likert. Sakla likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan
persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang kejadian atau gejala sosial (Riduwan,
2005).[27]
F. Desain
Eksperimen
Desain eksperimen yang digunakan
peneliti adalah desain eksperimen ulang (pretest-posttest control group design)
merupakan desain eksperimen yang dilakukan dengan jalan melakukan pengukuran
atau observasi awal sebelum perlakuan diberikan dan setelah perlakuan pada
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.[28]
G. Bentuk
atau Cara Melakukan Eksperimen
H. Analisis
Data
1. Uji
Normalitas
Uji normalitas penelitian ini
menggunakan teknik Kolmogorov Smirnov Goodness of Fit Test, dengan
menggunakan SPSS 17.0 Statistic for Windows.
2. Uji
Homogenitas
Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan
levene test, dengan menggunakan SPSS 17.0 Statistic for Windows.
3. Uji
Hipotesis
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik statistik parametrik uji-t dua sampel independen (Independent
Sample t–test) dan uji berpasangan (Paired t-test).
DAFTAR PUSTAKA
B Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Gelora
Aksara Pratama.
Riduwan, Akdon. (2005).
Rumus dan Data Dalam Aplikasi Statistika.
Bandung: Alfabeta.
Monk, F. J. dkk.(2004).
Psikologi Perkembangan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, cetakan 15.
Hidayat, Komaruddin.
(2006). Psikilogi Kematian. Bandung :
Mizan.
Kephart & Jedlicka. 1991. The family, Society, and the Individual
7th Ed. USA: Harper & Row Publishing.
Glasser, P. & Navarne, E. (1999). Structural Problem of the Single
Parent Family. USA: Minesota Burgess Publishing Company.
Suardiman, S. (2001). Perempuan Kepala Rumah Tangga. Yogyakarta:
Jendela.
S, Nock. (1987). Sociology of The Family. New Jersey: Prentice-Hall,
Inc.
Belsky, K. (1990). Psychology of Aging Theory, Research, and
Intervention. California: Brooks/ Cole Publishing Company.
Matlin, M. (2004). The Psychology of Women 5th. Ed. Canada:
Wadsworth.
Baron & Byrne. (2000). Social Psychology 9th Ed.
Massachusetts: Pearson Education Company.
Dykstra, Pearl A. (1995) Loneliness among the never and formerly
married: The importance of supportive friendships and a desire for independence.
The Journals of Gerontology.
Suryabrata, S. (1995). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Mustafa Z.E.Q. (2009). Mengurai Variabel Hingga Instrumentasi.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Bordens,K.S. &
Abbott, B.B. (2005). Research Design And
Methods. USA: McGraw-Hill.
Mitchell M.L., &
Jolley J.L. (2004). Research
Design:Explained. (Kanada: Thompson Learning.
Myers, A., & Hansen,
C. (2006). Experimental Psychology.
(USA: Thompson Wadsworth.
Solso , R.L., &
Maclin,M.k. (2002). Experimental
Psychology:A Case Aprroach. USA: Allin & Bacon.
Yulianto Seniati, L A.
& Setiadi, B.N. (2005). Psikologi
Eksperimen. Jakarta: Gramedia.
Latipun. (2015) Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.
[1] Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Gelora
Aksara Pratama, 1980) hlm 277.
[2] Ibid.,
[3] F. J. Monk, dkk. Psikologi Perkembangan. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2004) hlm 326-329 cet 15.
[5] Ibid,.
[6] Ibid.,
[7] Komaruddin Hidayat. Psikologi Kematian. (Bandung : Mizan,
2006)
[8] Kephart & Jedlicka, The
family, Society, and the Individual 7th Ed. (USA: Harper & Row
Publishing, 1991).
[9] Glasser, P. & Navarne, E. Structural
Problem of the Single Parent Family. (USA: Minesota Burgess Publishing
Company, 1999).
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14] Kephart & Jedlicka. The
family, Society, and the Individual 7th Ed. (USA: Harper & Row
Publishing, 1991).
[15] K. Belsky, Psychology of
Aging Theory, Research, and Intervention. (California: Brooks/ Cole
Publishing Company, 1990).
[18] Pearl A. Dykstra, Loneliness
among the never and formerly married: The importance of supportive friendships
and a desire for independence. (The Journals of Gerontology: 1995).
[19] S. Suryabrata, Metodologi Penelitian. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995).
[20] Mustafa Z.E.Q. Mengurai Variabel Hingga Instrumentasi. (Yogyakarta:Graha Ilmu.
2009).
[21] Ibid.,
[22] Bordens,K.S. & Abbott, B.B. Research Design And Methods. (USA:
McGraw-Hill. 2005).
[23] Mitchell M.L., & Jolley J.L. Research Design:Explained. (Kanada: Thompson
Learning. 2004).
[24] Myers, A., & Hansen, C. Experimental Psychology. (USA: Thompson
Wadsworth. 2006).
[25] Solso , R.L., & Maclin,M.k. Experimental Psychology:A Case Aprroach.
(USA: Allin & Bacon. 2002).
[26] Yulianto Seniati, L A. & Setiadi,
B.N. Psikologi Eksperimen.
(Jakarta:Gramedia. 2005).
[28] Latipun, Psikologi Eksperimen (Malang: UMM Press, 2015), 87.
Komentar
Posting Komentar