Teori Medan

Teori medan (cognitive field theory). Teori ini dikemukakan oleh Kurt Lewin (1890-1947), dan disebut pula dengan “topologi” (topologi theory). Kurt Lewin, bapak teori medan ini, mula-mula adalah pengikut aliran psikologi Gestalt mazhab Berlin, akan tetapi yang kemudian mengambil jalan sendiri, terutama dalam penelitian mengenai motivation.[1] Teori ini muncul sebagai sanggahan terhadap teori gestalt.[2] Selain itu, bertentangan pula dengan Ach. Ach, pengikut mazhab Wurzburg, telah memberikan hal-hal baru yang tidak ada dalam psikologi asosiasi yang konvensional.[3] 
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan dalam struktur kognitif, atau dalam cara menanggapi kejadian-kejadian dan memberikan makna kepadanya. Jadi, yang ditekankan dalam belajar adalah proses kognitif bukannya pada produk tertentu. Mempelajari geometri, misalnya, yang penting adalah menemukan prinsip-prinsip yang mengorganisasikan bukannya malah menemukan jawaban khusus. Mempelajari fakta-fakta khusus yang disampaikan oleh proses ini. Oleh sebab itu, mereka yang mengikuti konsep ini menekankan belajar dan hubungan yang terpadu bukannya menekankan penguasaan isi khusus.
Selain itu, teori ini juga memandang bahwa belajar pada hakikatnya merupakan proses sosial. Untuk belajar, organisme harus berinteraksi dengan lingkungan kebudayaan dan sosialnya. Dengan demikian, individu dapat membentuk atau menentukan selektivitas tanggapan dan penilaiannya, yang kemudian diistilahkan dengan “vector” , karena anggapannya yang serupa itu, maka pengikut teori ini tidak lagi menyatakan “perbuatan belajar” (learning act), tetapi “situasi belajar” dan kekuatan-kekuatan yang beroperasi di dalamnya: individu termasuk “selektivitas” persepsinya, dan kebutuhannya, tuntutan-tuntutan dari kebudayaannya, dan belajar sebelumnya.
Kurt Lewin mengembangkan teori ini dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu sebagai berada di suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi, disebut “life-space”. Life space ini mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misal: orang-orang yang ia jumpai, objek material yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki.[4]
Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan, baik dari dalam individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Dalam pembentukan belajar atau tingkah laku, Lewin memberikan penting pada motivasi daripada reward.[5]
Individu dalam rangka berinteraksi dengan lingkungan tidaklah sama. Karena masing-masing memiliki perangsang-perangsang yang berbeda untuk merespon dan untuk mengorganisasikan respon-responnya dengan cara yang berbeda, maka menyediakan respon-respon khusus merupakan hal yang sangat penting dalam perecanaan kurikulum tanpa melupakan pengalaman respon yang sebelumnya.[6]
Belajar sebagian besar terdapat dalam respon terhadap kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan dasar yang mendorong dan diperkuat oleh minat dan motivasi serta praktek. Praktik tercapai dengan mengubah setiap usaha untuk mempelajari sesuatu lebih lanjut.[7]
Dalam teori ini, Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal daripada hadiah dan hukuman. Apabila tujuan-tujuan yang akan dicapai itu adalah intrinsic, maka lebih tepat berbicara tentang tujuan itu berhasil atau gagal.
Perbedaan antara cara pendekatan yang psikologis dan non psikologis lalu menjadi lebih jelas daripada kalau dipergunakan pengertian hadiah dan hukuman. Karena secara psikologis memang yang penting adalah bagaimana yang dialami oleh individu di dalam menghadapi sesuatu problem. Suatu pengalaman sukses haruslah dimengerti sesuai dengan apa yang dia coba untuk dikerjakan. Apabila gejala psikologis mengenai sukses dipandang dari segi pelajar, setidaknya mengandung kemungkinan yang berikut:
a.       Orang akan mendapat pengalaman sukses kalau dia mencapai apa yang ingin dicapainya, misal, lulus ujian.
b.      Orang juga mungkin sudah mendapatkan pengalaman sukses kalau dia mendekati atau dalam daerah tujuan, misal, mahasiswa yang harus mengulang beberapa mata kuliah dalam ujian.
c.       Kadang-kadang dapat juga terjadi bahwa orang telah mendapatkan pengalaman sukses kalau dia berbuat dalam cara yang oleh umum dianggap sebagai tindakan yang dapat menuju ke pencapaian tujuan, misal, seorang mahasiswa sudah mendapatkan pengalaman sukses kalau dia banyak-banyak membawa pulang buku-buku perpustakaan, walaupun belum tentu dibaca.
Pengalaman sukses dan gagal itu bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses oleh seseorang, sedang oleh orang lain mungkin dialami sebagai kegagalan. Misal dalam suatu ujian ada sebagian murid yang puas atau berhasil dengan nilai enam, dan ada pula yang merasa kurang puas atau gagal dengan nilai tersebut. Hal ini tergantung pada taraf keinginan atau aspirasi seseorang, tujuan sementara sesuai dengan tafsiran individu.[8]
Seperti halnya teori gestalt, teori medan pun telah banyak jasa dan sumbangannya yang diberikan kepada praktik pendidikan, antara lain, di samping yang telah diutarakan dalam teori gestalt, juga dalam pengorganisasian mengajar lebih menekankan kepada konteks, hubungan dan pengertian; isi kurikulum lebih luas, termasuk penyediaan kerja kelompok dan interaksi, seperti diskusi; menghargai Cara Belajar Siswa Aktif.
Meskipun teori ini mempunyai banyak kelebihan atau jasa, namun teori ini juga mempunyai kekurangan, antara lain selain yang telah dikemukakan oleh Gagne terhadap teori gestalt, juga konsep pengajaran dan kurikulum  yang diperkenalkan lebih kompleks sehingga mengalami kesulitan untuk menguraikannya secara akurat.[9]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tak satu pun teori belajar yang sepenuhnya memadai untuk menjelaskan proses belajar.





[1] Psikologi Pendidikan, hal.279
[2] Abd. Rahman Abror, hal. 87
[3] Ibid, hal.279
[4] Ilmu Jiwa Pendidikan, hal. 73-74
[5] Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, hal.129
[6] Ibid., hal.88
[7] Ibid., hal.88
[8] Ibid, hal.285-288
[9] Ibid., hal. 89

Komentar

Postingan populer dari blog ini

المطالعة الثانية أَنْوَاعُ التَّرْوِيْحِ

Laporan Studi Kasus

Cara Pembuatan Kimchi dan 5 Manfaatnya yang Mengejutkan